Sore itu cuaca begitu buruk, langit tampak gelap dengan gerimis yang
mulai turun. Aku sendiri bete banget di kost-kost-an, sepi. Pak Arman
bapak kostku masih di kantor, ibu kost ngurusin bisnisnya di luar kota
dan kedua anak ibu kost kuliah di Jakarta, itu pula yang mungkin menjadi
alasan mereka mau 'menampung' aku, 'dari pada sepi'.
Yang kost di rumah ini memang hanya aku sendiri, jadi sudah seperti
keluarga. Aku sendiri masih duduk di bangku SMA kelas 2. Tapi karena
kebetulan jarak sekolahku lumayan jauh, aku disuruh kost. Pak Arman
sendiri adalah kenalan Bapakku.
"Bi, masak apa hari ini..?" dari pada menganggur, kuhampiri Bi Onah di dapur.
"Eh, Den Anto, biasa Den.. gulai kambing kesukaannya Tuan Arman."
"Wiih asiik Anto juga suka! Apalagi kalo Bibi yang masak, hmm.. enggak ada duanya Bi!"
Si Bibi hanya tersenyum.
"Anto bantuin ya?"
"Aduh enggak usah, Den! Inikan kerjaannya cewek.."
"Kata siapa, Bi. Sekarang mah udah berubah, enggak ada lagi perbedaan
kayak gitu. Buktinya direstoran-restoran terkenal kebanyakan tukang
masaknya cowok!"
"Tapi, Den.."
"Udah, enggak apa-apa Bi, dari pada bengong. Sekarang mana yang bisa Anto bantu?"
Akhirnya si Bibi nyerah juga. Aku bantuin apa saja sebisaku, motong-motong daging, menggoreng bumbu, wah ternyata asyik juga.
"Ada koki baru, nih?" tiba-tiba terdengar suara berat di belakangku, aku menengok, ternyata Pak Arman.
"Eh, Bapak..!" aku jadi malu sendiri, "Dari pada bengong nih Pak, apalagi tadi bete banget!"
Pak Arman hanya tersenyum.
"Pakaian Bapak kok basah semua?"
"Tadi mobilnya mogok di tengah jalan, ya udah mau enggak mau kudu hujan-hujanan.."
Aku terus menatap tubuh Pak Arman. Dalam pakaian basah seperti itu
jelas sekali terlihat bentuk tubuhnya. Di usia kepala empat, Pak Arman
memang masih kelihatan gagah dan kekar. Aku sedikit berdesir melihat
tonjolan besar di balik celananya.
"Mandi dulu Tuan, nanti masuk angin.." si Bibi tiba-tiba menyela dari belakang.
"Iya Pak, lagian Ibu lagi enggak ada, entar siapa yang ngerokin!"
"Kan ada kamu!" Pak Arman tertawa mendengar gurauanku, tetapi kemudian ia segera berlalu ke kamar mandi.
Tak lama terdengar suara guyuran air. Tiba-tiba aku membayangkan
bagaimana keadaan Pak Arman waktu bugil, memikirkan itu kemaluanku
langsung mengeras. Malam itu sama sekali aku tidak dapat tidur. Entah
kenapa tubuh Pak Arman yang basah terus terbayang di mataku. Busyet!
Kenapa jadi begini? Untung acara TV malam itu lumayan bagus, jadi aku
dapat sedikit mengesampingkannya.
"Belum ngantuk, To?"
Aduh, suara itu lagi.
"Eh, belum Pak..!"
Aku sedikit gerogi ketika Pak Arman duduk di pinggirku, padahal dulu-dulu tidak seperti ini.
"Acaranya bagus?" Pak Arman menatapku, oh Tuhan matanya begitu teduh.
"Lumayan Pak, buat nyepetin mata yang enggak bisa di ajak kompromi.."
Sesaat suasana hening.
"Bapak juga kok enggak tidur..?" kucoba memecahkan suasana, "Kangen Ibu, ya?"
Pak Arman tersenyum.
"Saya sudah biasa di tinggal istri, To.."
"Sorry, Pak.."
Aku jadi merasa tidak enak sendiri.
Malam semakin larut dan udara makin terasa dingin, dan kami masih asyik nonton TV, walaupun pikiran saya tidak tertuju kesana.
"To, Kepala saya agak pusing.., mau enggak kamu pijitin kepala saya..?"
Aduh saya benar-benar tidak tahu harus berbuat seperti apa. Pak Arman terus menatapku.
"I.., iya Pak..!" ujarku sedikit gugup. Aku kemudian berdiri.
"Mau kemana?"
"Mijitin kepala Bapak.."
"Udah kamu duduk disitu aja.."
Tanganku ditariknya kembali ke kursi panjang.
Sungguh aku tak mengerti. Aku kemudian duduk kembali dan tiba-tiba
Pak Arman merebahkan kepalanya di pangkuanku. Sungguh saat itu aku tidak
dapat mengendalikan lagi denyut jantungku.
"Di sini, To.." Pak Arman memegang tanganku dan kemudian diletakkan di keningnya.
Untuk sesaat aku terpaku dan kemudian dengan sedikit gemetar memijat
keningnya. Kulihat Pak Arman memejamkan matanya. Dengan takut dan
ragu-ragu kuperhatikan wajahnya. Sungguh sangat sempurna. Alis yang
rimbun, hidung yang bangir, kumis tebal dan kaku, dagu yang terbelah..,
oh Tuhan aku nyaris tak dapat mengendalikan diri.
"Oh, Nikmat sekali, To.." Pak Arman mendesaah perlahan.
"Aku jadi ngantuk, boleh tidur disini dulu enggak? Entar kalau acaranya selesai, bangunkan ya!"
"Ya, Pak.."
Entah mimpi apa aku semalam bisa berduaan seperti ini dengan Pak
Arman. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Tetapi kulihat Pak Arman tidak
juga memejamkan matanya.
"Kenapa, Pak? Katanya mau tidur?"
Pak Arman terus menatapku, aku jadi salah tingkah.
"Aku teringat, Diko. Sudah 5 bulan aku tidak ketemu dengannya."
"Dia kan sedang kuliah, Pak.."
"Waktu kecil dia selalu kupangku seperti ini sambil kubelai rambutnya. Tak terasa anak-anak begitu cepat besar."
Kulihat mata Pak Arman menerawang.
"Waktu mereka masih ada, aku tak begitu merasa kesepian seperti
sekarang, tapi ya begitulah tugas orang tua, memang cuma membesarkan dan
mendidik anak, setelah itu.. Aku bersyukur ketika kemudian kamu kost
disini, setidaknya rumah ini tidak begitu sepi lagi."
Aku begitu terharu mendengar kata-kata Pak Arman, begitu menyentuh.
Dan tak terasa tanganku bukan lagi memijat, tapi telah membelai rambut
Pak Arman. Pak Arman memejamkan matanya sepertinya ia menikmati
semuanya.
"Semua orang tua mungkin pernah merasakan hal yang sama seperti
Bapak.." aku mencoba menghibur, "Dan kalau Bapak mau, saya siap untuk
menjadi teman bicara Bapak, kapan saja, asal Bapak tidak merasa
kesepian.."
Pak Arman membuka matanya. Dipegangnya tanganku.
"Sungguh..?"
Aku menganggukan kepalaku. Pak Arman tersenyum, kemudian ia mencium tanganku.
"Thanks.." katanya manis.
Ya Tuhan, dadaku seakan mau meledak merasakan hangatnya bibir Pak
Arman disertai gesekan kumisnya di tanganku. Aku bingung harus berbuat
apa. Pak Arman tersenyum melihatku, kemudian ia meletakan tanganku di
pipinya. Sejenak aku terpaku. Perlahan kemudian kubelai pipinya yang
kasar. Pak Arman memejamkan matanya. Aku terus membelainya, merasakan
jambangnya yang belum dicukur. Aku penasaran sekali dengan kumisnya.
"Kumis Bapak bagus.."
"Kamu suka..?"
"Ya, kelihatannya gagah.."
Dengan ragu kubelai kumis Pak Arman. Ia tetap diam seperti sedang
menikmati semuanya. Bibirnya tampak sedikit merekah, begitu indah dan
merangsang, serasi sekali dengan kumisnya yang tebal. Aku sudah tak
dapat menahan diri lagi. Perlahan kubelai bibir itu dengan gemetar.
Sebenarnya aku takut dianggap tidak sopan, tapi kulihat Pak Arman
tidak ada reaksi apa-apa. Aku semakin berani. Pak Arman kulihat semakin
membuka bibirnya dan tanpa kuduga, tiba-tiba ia mencium jariku dan
kemudian menghisapnya dengan perlahan. Aku begitu terpana. Matanya
terbuka, ia tersenyum manis kemudian bangkit dari pangkuanku.
Dipegangnya bahuku.
"Aku ingin tidur bersama kamu.."
Direbahkannya tubuhku di kursi yang sempit. Ia kemudian ikut tidur
sambil memeluk tubuhku. Aku teramat merasakan kepadatan tubuhnya yang
membuatku semakin nafsu. Ia membelai rambutku. Aku tatap matanya, ia
tersenyum, didekatkan kepalanya dan tiba-tiba ia mencium bibirku.
Lembuut sekali. Aku memejamkan mata meresapi sensasi yang begitu indah.
Ketika kubuka mataku ia sedang menatap wajahku, kemudian dielusnya
pipiku, alisku, bibirku, dan kemudian ia menciumku lagi lebih lama.
Bibirnya terasa manis, kurasakan lidahnya menelusup di rongga mulutku.
Aku merasakan nikmat yang amat sangat, apalagi kumisnya begitu kasar.
Kucengkeram punggungnya dengan kuat, nafasku semakin memburu.
Pak Arman benar-benar ahli, aku yang baru pertama kali mengalaminya
seperti orang meriang. Pak Arman tiba-tiba melepaskan ciumannya, ia
menatapku dengan mesra.
"Kamu menyukainya, To..?"
Ya ampun.., kenapa dia harus bertanya seperti itu, sementara nafsuku
semakin membuncah. Aku menganggukan kepala seraya membelai lehernya.
"Ini yang pertama, Pak.."
Aku mendekatkan lagi bibirku dan dengan ganas kembali kulumat bibir jantannya. Kutindih tubuhnya dengan nafsu.
"Jangan disini, To.."
Aku menghentikan aksiku. Pak Arman bangkit. Dimatikannya TV, kemudian
ia mencium keningku sebelum membopongku ke kamarnya. Aku terpekik
sejenak, tapi langsung kupeluk leher Pak Arman sambil kucium dadanya.
Pak Arman tertawa kecil.
Sesampainya di kamar, dengan perlahan direbahkannya tubuhku. Sambil
menindihku Pak Arman terus menatap mataku dengan mesra, aku sampai
tersipu. Kupeluk tubuhnya sambil kugigit lehernya, Pak Arman sampai
terpekik.
"Wah, kamu mirip drakula.." Pak Arman terus menggodaku.
"Tapi drakula amatir.." balasku.
Pak arman tersenyum. Dipijatnya hidungku.
"Nih kalau yang profesional!"
Tiba-tiba Pak Arman telah mencium leherku dengan gigitan-gigitan
kecilnya. Aku terlonjak, geli tapi nikmat, apalagi kumisnya terasa
sekali menusuk-nusuk leherku.
Aku mengerang sambil menjambak rambutnya. Aku benar-benar tak kuat.
Kakiku langsung kubelitkan di tubuhnya sambil menggeliat-geliat dengan
liar. Pak Arman semakin bernafsu. Kini ia telah membuka bajuku,
dijilatinya dadaku. Aku menjerit, benar-benar sensasi baru yang teramat
indah. Aku semakin mempererat pelukanku, apalagi saat Pak Arman mengulum
puting susuku, tubuhku sampai melengkung menahan kenikmatannya.
"Pak Arman, oohh.."
Pak Arman seperti tidak perduli dengan keadaanku, ia semakin buas.
Tak lama kemudian tubuhku telah telanjang bulat, dan ia benar-benar
membuatku tak berkutik. Ketika ia membuka bajunya, aku benar-benar
terpana melihat tubuhnya yang masih berotot dengan bulu-bulu yang
membelukar, membuatku semakin tak kuat, apalagi saat ia membuka celana
dalamnya, oh.., batang kejantanannya begitu besar dan kaku. Aku sampai
ngeri sendiri.
Ia kembali menghampiriku dengan nafasnya yang memburu. Aku
menyambutnya, kupeluk tubuhnya yang besar. Kubelai punggungnya sambil
kuresapi ciumannya. Tangannya begitu nakal, dibelainya pahaku secara
perlahan, dan kemudian bergeser ke arah batang kemaluanku yang tidak
begitu besar. Aku pun tidak mau kalah, kuremas kejantanannya yang
seperti pentungan hansip, Pak Arman mendesah. Aku kemudian melepaskan
diri dari pelukannya. Kuciumi batang kejantanan yang begitu gagah,
desahan Pak Arman makin keras. Di ujung kejantanannya yang hitam
terlihat mulai keluar cairan bening, aku langsung menjilatinya, terasa
asin tapi nikmat. Setelah itu langsung kukulum batangnya.
"Ohh.. nikmat sekali, To! Terus, To!" Pak Arman mencengkram kepalaku.
Aku semakin bersemangat, terus kukulum kejantanan itu sambil
kumainkan lidahku di ujungnya, dan terkadang kugigit pelan karena gemas.
Kemaluan Pak Arman begitu perkasa. Pak Arman terus mencengkram
kepalaku. Bosan dengan itu kuciumi lipatan paha Pak Arman, ooh.. terasa
sekali bau kelelakiannya. Lama juga aku bermain di situ, kemudian
pelirnya kucium dan kukulum, sementara tanganku bermain di anusnya yang
dipenuhi bulu. Aku mencoba memasukkan telunjukku, terasa sulit, tapi
lama-lama bisa juga.
"Terus, to.. oh.., nikmat sekali.." Pak Arman semakin menggelinjang.
Kemudian kubalikkan tubuh Pak Arman. Kubelai pantatnya yang gempal,
kucium dan terkadang kugigit. Oh.. nikmat sekali. Perlahan kubuka
bongkahan pantatnya, kemudian kusibakkan bulu-bulunya yang lebat,
terlihat anusnya yang mungil kemerahan seakan menantangku untuk
mengulumnya. Langsung saja kujilati anusnya, desahan Pak Arman terdengar
semakin keras, apalagi saat lidahku masuk ke lubangnya dan kemudian
menghisapnya. Anusnya terasa harum sekali, sungguh aku sangat
menyukainya.
"Oh.., Anton, Bapak enggak kuat lagi.."
Tiba-tiba Pak Arman membalikkan tubuhnya, dan kemudian membantingku ke kasur. Diciumnya leherku dengan ganas.
"Boleh, Bapak ngentot kamu..?" ia menatapku dengan harap.
Aku menganggukan kepalaku. Pak Arman langsung berdiri, kemudian ia
menundukkan kepalanya di selangkanganku, kakiku ditariknya dan kemudian
dijilatinya anusku. Oh Tuhan nikmat sekali, apalagi kumisnya kuat sekali
menggesek-gesek kulitku.
Tak lama ia mengangkat kakiku, kemudian diletakkannya di pundaknya,
batang kejantanannya terasa sekali menyentuh anusku. Sesaat aku merasa
ngeri membayangkan batang kejantanan Pak Arman yang besar membobol
anusku yang kecil, tapi nafsu telah mengalahkan segalanya. Pak Arman
sendiri tampaknya kesulitan memasukkan kejantanannya. Ia kemudian
memakai ludahnya untuk dijadikan pelumas, tak lama batang itu mulai
masuk, aku menjerit kesakitan.
"Tahan dulu Sayang, Nanti juga tidak sakit.."
Aku menganggukan kepalaku.
Batang kejantanan Pak Arman makin masuk dan aku makin kesakitan. Pak
Arman kemudian menciumbibirku sambil terus memasukkan kemaluannya.
Ketika semuanya telah masuk, jeritanku semakin keras. Kemudian kugigit
lehernya. Aku menangis kesakitan. Pak Arman diam sejenak, mencium
bibirku, menjilati leherku dan mengulum telingaku. Sejenak aku melupakan
rasa sakit itu. Ketika aku tidak menjerit lagi, ia mulai menggerakan
batang kejantanannya. Kembali aku menangis kesakitan.
"Sabar Sayang.., nanti juga kau akan merasakan nikmat.." Pak Arman
berusaha menghiburku sambil terus memberiku rangsangan-rangsangan.
Memang benar apa yang dikatakan Pak Arman, lama-lama aku merasakan
nikmat juga. Perlahan kuimbangi gerakan Pak Arman sambil kubelai
punggungnya yang liat. Keringat Pak Arman tampak sudah membanjir.
"Terus Pak.., terus..!" Aku semakin merasa keenakan.
Kupeluk tubuh Pak Arman makin erat, kucium ketiaknya dan kugigit lengannya.
"Oh.., anusmu nikmat sekali, Sayang.."
Gerakan Pak Arman semakin liar, digigitnya leher dan dadaku hingga
membekaskan noda merah. Terasa sekali batang kejantanannya dengan kuat
menyodok-nyodok anusku.
"Gimana Sayang.., apakah masih merasa sakit..?"
"Enggak Pak, nikmat sekali.."
Kugigit puting Pak Arman yang berwarna kemerahan. Kusedot-sedot
hingga gerakan Pak Arman semakin cepat. Pantatnya yang gempal kembali
kubelai, kuremas dan kubelai bulu kemaluannya sambil memainkan anusnya.
Sesekali jariku menusuk-nusuk anusnya.
"Aku tak kuat lagi Anto.."
Tubuh Pak Arman tampak gemetar, kemudian ia memelukku dengan erat
sambil menggigit dadaku. Dan kurasakan denyutan keras di anusku disertai
semburan hangat.
Ketika semuanya reda, Pak Arman tetap memelukku, kubelai dan kuseka
keringat di wajahnya. Kemudian kembali kubelai rambutnya. Pak Arman
memejamkan matanya.
"Terima kasih Sayang, aku puas sekali..!"
Diremasnya pundakku tanpa membuka matanya.
"Kamu ingin juga dikeluarkan..?" tiba-tiba Pak Armani membuka matanya dan menatapku.
Aku menggelengkan kepala, "Enggak usah sekarang, Pak.." aku tersenyum, "Aku hanya ingin membahagiakan Bapak.."
Pak Arman kemudian mencium pipiku dengan mesra.
"Lebih menyenangkan memeluk Bapak seperti ini.."
Kembali kurengkuh tubuh itu dengan kuat, kubelai sampai kemudian Pak
Arman tidur di dadaku. Oh.., bahagia sekali rasanya hatiku, dan ini
bukan mimpi.
Kami terus melakukan hal itu sampai saya lulus dari SMA, dan kemudian
kuliah di luar kota. Sejak itulah kami jarang bertemu, tapi saya akan
terus mengingat Pak Arman, karena saya amat mencintainya. Dan entah
mengapa sejak saat itu saya lebih bernafsu dengan melihat tubuh cowok
yang lebih dewasa atau bapak-bapak. Untuk teman-teman yang ingin menjadi
sahabat saya, dapat menghubungi saya.
video kontol bapak bapak
Minggu, 17 Februari 2019
Pak Pardi si kumis tebal
Waktu itu aku berumur 16 tahun dan aku adalah anak seorang pejabat
daerah. Aku tinggal di tempat yang pelosok, kebetulan daerah itu sedang
dalam tahap pengembangan, letaknya di dekat laut dan rumahku dekat kaki
gunung yang juga tak jauh dari laut.
Ayah dan ibuku setiap hari selalu pergi, entah itu rapat, penyuluhan atau apapun itu. Hari itu ayah bilang padaku untuk memberikan amplop pada Pak Pardi, tukang kebun yang berusia 40-an, berambut keriting tingginya mungkin sekitar 160 cm-an dan berbadan kekar dengan kulit kecoklatan terbakar matahari. Pak Pardi sedang mengurus kebon ayah.
Sore itu sekitar jam 4-an, aku pakai sepeda pergi ke kebon. Sesampai di gubuk tempat Pak Pardi biasa istirahat dia tak ada. Jadi aku cari sambil sesekali memanggil. Ternyata dia ada di pinggir kolam ikan, sedang menanam bibit jati. Aku biasa melihat Pak Pardi bekerja hanya memakai celana panjang dan tak berbaju, badannya keren sekali. Tapi hari ini pemandangan itu berubah, kulihat Pak Pardi hanya memakai celana kolor berwarna biru yang sudah hampir pudar warnanya.
Perlahan aku dekati dan berusaha tak membuat suara. Kontolku seketika ngaceng, apalagi semakin aku dekat dengannya aku semakin jelas melihat celana kolornya sudah tidak ketat lagi, karetnya sudah kendor sehingga karetnya turun dan disatu sisi aku melihat tonjolan yang lumayan besar, lalu disisi samping kiri dan kanannya aku melihat jembutnya yang menyeruak.
Lalu dia mengambil bibit dan menungging untuk menanamnya. Ternyata bagian bawah celana kolornya robek lumayan besar, sehingga salah satu biji pelernya sedikit keluar. Aku menahan nafas dan kuperbaiki posisi kontolku karena terasa sangat tidak nyaman. Aku berusaha menenangkan diriku, lalu aku pura-pura memanggil namanya lagi. Dia menengok dan sedikit kaget melihat aku sudah di dekatnya. Dia memperbaiki celana kolornya dan berusaha senyum meski aku tahu dia sedikit canggung.
"Pak, ini ada titipan dari ayah," ujarku sambil menyerahkan amplop dari kantong celanaku.
"Oh makasih Mas," katanya dengan mimik bingung akan ditaruh dimana amplop itu.
"Sini, aku bantu taruh Pak Pardi, di deket celana ya?" kataku sambil mengambil lagi amplop itu dari tangannya dan berjalan ke arah celana Pak Pardi yang di alasi daun pisang lebar tak jauh dari tempatnya menanam.
"Lagi apa sih Pak Pardi?" tanyaku lagi.
"Ini Mas, tanem bibit jati bapak, sudah selesai sih, bapak suruh ambil ikan buat acara besok jadi saya lepas celananya biar nggak kotor,"
"Oh," ujarku makfum.
Lalu kulihat dia mengambil jala besar dan melemparkannya ke arah kolam. Setelah beberapa lama, dia turun ke kolam dan air kolam setengah pinggang membasahi tubuhnya. Lalu dia menarik jala itu, kelihatannya dia sedikit kesusahan sehingga aku bantu dia menarik dari atas. Banyak sekali ikannya. Pak Pardi kemudian naik ke atas, dan saat itu kepala kontol Pak Pardi menyembul dari sisi samping celana kolornya, dan karena celana kolornya basah, tercetak jelas bagian rahasia Pak Pardi.
"Pak, kepalanya keluar tuh," ujarku sambil tertawa. Dia melihat ke bawah dan ikut tertawa sambil memasukkan kepala kontolnya, sungguh erotis.
Lalu dia nongkrong di atas jala untuk membersihkan beberapa kotoran sebelum mengambil ikan. Aku tak mensia-siakan kesempatan itu dan segera ikut nongkrong di depannya sambil berusaha membantu padahal tujuanku hanya ingin melihat kontolnya. Benar saja, karena kolornya basah menjadi agak berat sehingga merosot, kali ini aku bisa melihat jembutnya di bagian atas ban karet kolor tersembul keluar.
"Pak Pardi, tuh jembutnya keliatan," dia kembali tersenyum lalu menaikkan celananya sedikit.
"Enak ya Pak Pardi"
"Enak apanya Mas"
"Pak Pardi sudah jembutan, pasti lebet. Aku pengen banget punya jembut"
Dia tertawa dan kemudian berkata, "Lah pasti seumur Mas sudah ada"
"Iya sih, tapi pasti nggak selebat Pak Pardi" dan kulihat dia hanya tersenyum lagi.
Selesai sudah tugas dia hari itu, setelah membawanya ke pondok, masih dengan celana kolornya Pak Pardi membawa ember kecil.
"Mau kemana Pak?" tanyaku.
"Ke pancuran," jawabnya. Di kebon ayahku ini ada pancoran air dari bambu, sumbernya dari aliran air di gunung.
"Aku ikut ya Pak, serem disini sendirian"
"Lah, aku mau mandi kok ikut"
"Nggak apa-apa lah Pak, aku ikut yah"
"Ya sudah ikut saja"
Sambil berjalan aku mencoba memancing ke arah pembicaraan yang lebih saru.
"Pak Pardi masih suka ngocok nggak?"
Dia terlihat kaget dengan pertanyaanku, tapi dia menjawabnya, "Ya kadang-kadang"
"Berapa kali Pak sehari"
"Yah nggak tiap hari. Kalo istri mau malemnya ya hari itu saya tidak ngocok".
"Kamu suka ngocok," tanyanya kemudian.
"Iya Pak, suka sekali. Hari ini Pak Pardi ngocok nggak"
Selesai ku tanya begitu aku lihat ke arah celana kolornya dan semakin gembung saja, bahkan sudah membentuk tenda, sehingga celananya turun dan jembutnya kembali terlihat dan bentuk kepala kontolnya tercetak jelas.
"Sebenernya sih saya nggak rencana ngocok, tapi.."
"Tapi apa Pak?"
"Mas Win sih bikin saya ngaceng nih," ujarnya sambil memperbaiki posisi batang kontolnya.
"Yah kok di benerin sih Pak letaknya, saya suka sekali ngelihatnya"
Pak Pardi menatapku lalu berkata, "Mas win suka ngelihat kontol?"
"Iya Pak. Mm kalo boleh saya mau lihat kontol Pak Pardi, boleh nggak Pak?"
Pak Pardi menghentikan langkahnya dan kemudian membalikkan badannya ke arah saya. Dia diam saja, tapi tangannya menurunkan celana kolornya hingga sebatas lutut, sehingga terlihatlah pemandangan yang sangat saya impikan.
Kontol Pak Pardi gemuk dan besar, benar-benar full ngaceng dan batang kontolnya berurat-urat semakin menampakkan kesan jantan dan gagah. Pelernya tidak terlalu besar dan bulu-bulu jembutnya tumbuh lebat serta menyeruak kemana-mana, benar-benar kontol yang sempurna buatku.
Dengan agak sedikit gemetar aku memegang batang kontol itu, terus terang ini pertama kalinya aku megang kontol orang dewasa. Batang kontol itu terasa hangat dalam genggaman tanganku dan sesekali berkedut-kedut. Kulirik ke arah Pak Pardi dan dia juga menatapku tapi tanpa ekspresi. Aku buat gerakan mengocok seperti aku biasa mengocok kontolku dan Pak Pardi juga sangat menikmatinya, terbukti dia terus memaju mundurkan badannya.
Tiba-tiba aku lepas genggamanku dari kontolnya, dan sebelum dia bertanya aku berkata,
"Pak Pardi, tunjukin ke saya dong cara bapak biasa ngocok saya pengen liat orang gede ngocok kontol"
"Ohh, em gitu ya," ujarnya dengan nafas yang masih dikuasai birahi.
Kemudian Pak Pardi menarik daun pisang yang ada di dekat kami hingga putus, kemudian menaruhnya di tanah. Bersandar di pohon pisang itu Pak Pardi mulai mengocok kontolnya.
Dia mengocok kontolnya dengan gerakan yang cepat dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya terus meraba-raba bulu jembut dia yang ampun banget lebetnya dengan mata yang tertutup dan gumaman keenakan keluar dari mulutnya.
"Enak ya Pak?" tanyaku dan aku berada tepat disamping kontolnya.
"I.. Iya Mas Win, enak sekali. Kenapa nggak ikut ngocok sekalian?"
"Ah saya malu Pak, kontol saya nggak sebesar punya bapak"
"Kenapa malu, kamu kan belum sempurna betul pertumbuhan kontolnya. Lagi pula kontol itu yang penting maennya, bukan ukurannya."
"Gitu ya Pak?" jawabku gelisah karena kontolku memang pengen keluar karena sudah sangat ngaceng melihat tubuh bugil Pak Pardi yang berotot berada di atas daun pisang sedang mengocok kontolnya yang besar.
"Ah.. Shh, ayo Mas Win buka aja, apa mau bapak bukain?"
Akhirnya aku tahan juga dan segera membuka baju dan akhirnya celanaku hingga benar-benar bugil.
"Wah sudah ngaceng ya Mas Win," ujar Pak Pardi sambil tersenyum melihat keadaan kontolku.
"Iya Pak, abis ngeliat Pak Pardi bikin saya jadi ngaceng juga"
"Sini sebelah saya saja"
Aku kemudian duduk di sebelahnya dan mulai mengocok kontolku. Tangan kanan Pak Pardi menggerayangi jembutku.
"Jembut Mas Win persis kayak anak bapak, Atin, cuma kontol Mas Win ini agak panjang yah"
Aku kaget mendengar ucapan Pak Pardi.
"Memangnya Pak Pardi pernah liat kontol Atin?" tanyaku penasaran menghentikan gerakanku di kontol.
Atin adalah kakak kelasku di SMP, tapi dia nggak nerusin SMA mungkin karena biaya. Atin itu anak tertua dan satu-satunya dari Pak Pardi, dia juga sering membantu di rumah.
"Kenapa, Mas Win suka ya dengernya," ujar Pak Pardi yang kini membantuku mengocok.
Kulit tangannya terasa kasar di kontolku tapi genggaman tangannya sangat mantap, baru sekali ini juga batang kontolku di pegang orang, Aku sedikit kelojotan karena sensasinya.
"Bapak suka ngeliat si Atin ngocok di kali belakang rumah kalo sore, kadang-kadang bapak juga suka ngocok bareng"
Ah, darahku semakin mendidih mendengarnya, belum lagi kocokan Pak Pardi bener-bener yahud. Dia menghentikan kocokan di kontolnya dan mengalihkan kedua tangannya di kontolku. Kini aku yang nyender di batang pisang dan Pak Pardi duduk bersila di sampingku dekat di bagian kontol. Sambil tangan kanannya mengocok batang kontolku, tangan kirinya tidak henti-hentinya bergerilya di biji peler dab jembutku yang masih terbilang tipis.
"Kadang bapak ngocokin kontol dia, dan dia ngocokin kontol bapak, aduh enak banget Mas Win. Persis kayak kita gini"
"Ah Pak Pardi, gila bener, aku jadi pengen ngecrot dengernya"
"Mas Win mau nggak kalo kapan-kapan bapak ajak ngocok bareng sama Atin?" tanya Pak Pardi sambil terus merancapiku.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya, hanya bisa melenguh enak dan kedua tanganku terangkat ke atas dan memeluk batang pisang yang kusandari.
"Ahh.. Mau banget Pak, mau banget, aduh Pak.. enak, pengen keluar udah bener-bener nggak kuat"
Tapi sebelnya Pak Pardi menghentikan kocokan mautnya di kontolku. Aku membuka mata dan bertanya dengan tatapan mataku,
"Mas Win bangun dulu" ujarnya. Aku bangun dan bersender di batang pisang yang sama dengan kontol yang masih tegak mengacung.
"Kenapa Pak?"
"Kalo mau ngecrot, kita ngecrotin samaan ya"
"Kita ngocok berdiri Pak?"
"Nggak, liat aja. Bapak biasanya kalo ngecrot bareng Atin sering yang kayak gini, Mas Win diem aja yah"
Kemudian Pak Pardi mendekatiku, sebagai yang sangat tak berpengalaman jelas sekali aku deg-deganm apalagi melihat Pak Pardi sekarang hanya beberapa senti saja di depanku dan kontol kami sudah saling menyenggol.
Pak Pardi kemudian memelukku, karena tubuh kami hampir setara, posisi kontol kami tak terlalu berbeda sehingga saat Pak Pardi memelukku kontol kami saling bersentuhan.
Darahku seperti mengalir dengan cepat dan sensasi kontol kami yang saling berdempetan membuat tubuhku bergetar.
Pak Pardi kemudian menggeol-geolkan tubuhnya dengan gerakan memutar dan sedikit naik turun. Rasanya LUAR BIASA, kontol kami bergesekan, jembut kami bersatu dan sesekali ada sedikit rasa sakit saat jembutku tertarik entah oleh gerakan gesek batang kontolnya atau tertarik oleh jembutnya.
Kedua tangan Pak Pardi memeluk batang pisang dan kepalanya di rebahku di bahuku sementara kontolnya terus di gesek-gesekkan di kontolku.
Aku benar-benar sudah nggak tahan lagi. Akupun mengerang keras dan..
Crott.. Crott.. Crott spermaku menyembur berkali-kali diantara gesekan kontol kami, entah kemana saja semprotannya aku tak perduli karena rasa yang begitu enak membuatku tak berfikir apa-apa lagi. Kemudian Pak Pardi melepas pelukannya di tubuhku lalu mengocok kontolnya dengan sangat cepat dan kembali
Crott.. Crott.. Crott.. Crott.. Crott.. Crott, semprotan yang jauh lebih banyak dari kepala kontolnya di arahkan Pak Pardi di kontol dan jembutku. Cairan kental itu mengalir ke bawah dan Pak Pardi kembali memelukku serta kembali menggesekkan kontolnya sembari ia mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Kami akhirnya sudah mendapatkan kesadaran, dan dengan tubuh bugil berjalan ke arah pancuran untuk membersihkan tubuh dan sisa-sisa sperma.
"Pak, kapan kita bisa ngocok bareng Atin?" tanyaku.
"Yah kalo Mas Win mau, besok juga bisa disini" jawab Pak Pardi sambil tersenyum.
"Nanti bapak kasih liat, bagaimana cara bapak maen sama Atin."
"Maen..? Maen apa Pak?"
"Pokoknya liat aja besok, di jamin Mas Win suka, malah pengen ngerasain"
"Ah Pak Pardi ini bikin penasaran aja" ujarku manja.
"Tapi apa Atin mau ya kalo ada aku Pak?"
"Dia sih pasti mau, malah seneng. Kadang Pak Danial juga suka ikutan"
"Pak Danial hansip?" tanyaku kaget.
"Iya"
Mulutku melongo, Pak Danial adalah hansip yang suka jaga malam di rumahku.
"Ya sudah Pak, saya sudah nggak sabar nunggu besok"
Pak Pardi tertawa dan menarik jembutku sehingga aku kaget, lalu Pak Pardi berjalan cepat mendahuluiku yang berusaha mengejarnya untuk balas dendam menarik jembutnya juga. Senangnya...
Ayah dan ibuku setiap hari selalu pergi, entah itu rapat, penyuluhan atau apapun itu. Hari itu ayah bilang padaku untuk memberikan amplop pada Pak Pardi, tukang kebun yang berusia 40-an, berambut keriting tingginya mungkin sekitar 160 cm-an dan berbadan kekar dengan kulit kecoklatan terbakar matahari. Pak Pardi sedang mengurus kebon ayah.
Sore itu sekitar jam 4-an, aku pakai sepeda pergi ke kebon. Sesampai di gubuk tempat Pak Pardi biasa istirahat dia tak ada. Jadi aku cari sambil sesekali memanggil. Ternyata dia ada di pinggir kolam ikan, sedang menanam bibit jati. Aku biasa melihat Pak Pardi bekerja hanya memakai celana panjang dan tak berbaju, badannya keren sekali. Tapi hari ini pemandangan itu berubah, kulihat Pak Pardi hanya memakai celana kolor berwarna biru yang sudah hampir pudar warnanya.
Perlahan aku dekati dan berusaha tak membuat suara. Kontolku seketika ngaceng, apalagi semakin aku dekat dengannya aku semakin jelas melihat celana kolornya sudah tidak ketat lagi, karetnya sudah kendor sehingga karetnya turun dan disatu sisi aku melihat tonjolan yang lumayan besar, lalu disisi samping kiri dan kanannya aku melihat jembutnya yang menyeruak.
Lalu dia mengambil bibit dan menungging untuk menanamnya. Ternyata bagian bawah celana kolornya robek lumayan besar, sehingga salah satu biji pelernya sedikit keluar. Aku menahan nafas dan kuperbaiki posisi kontolku karena terasa sangat tidak nyaman. Aku berusaha menenangkan diriku, lalu aku pura-pura memanggil namanya lagi. Dia menengok dan sedikit kaget melihat aku sudah di dekatnya. Dia memperbaiki celana kolornya dan berusaha senyum meski aku tahu dia sedikit canggung.
"Pak, ini ada titipan dari ayah," ujarku sambil menyerahkan amplop dari kantong celanaku.
"Oh makasih Mas," katanya dengan mimik bingung akan ditaruh dimana amplop itu.
"Sini, aku bantu taruh Pak Pardi, di deket celana ya?" kataku sambil mengambil lagi amplop itu dari tangannya dan berjalan ke arah celana Pak Pardi yang di alasi daun pisang lebar tak jauh dari tempatnya menanam.
"Lagi apa sih Pak Pardi?" tanyaku lagi.
"Ini Mas, tanem bibit jati bapak, sudah selesai sih, bapak suruh ambil ikan buat acara besok jadi saya lepas celananya biar nggak kotor,"
"Oh," ujarku makfum.
Lalu kulihat dia mengambil jala besar dan melemparkannya ke arah kolam. Setelah beberapa lama, dia turun ke kolam dan air kolam setengah pinggang membasahi tubuhnya. Lalu dia menarik jala itu, kelihatannya dia sedikit kesusahan sehingga aku bantu dia menarik dari atas. Banyak sekali ikannya. Pak Pardi kemudian naik ke atas, dan saat itu kepala kontol Pak Pardi menyembul dari sisi samping celana kolornya, dan karena celana kolornya basah, tercetak jelas bagian rahasia Pak Pardi.
"Pak, kepalanya keluar tuh," ujarku sambil tertawa. Dia melihat ke bawah dan ikut tertawa sambil memasukkan kepala kontolnya, sungguh erotis.
Lalu dia nongkrong di atas jala untuk membersihkan beberapa kotoran sebelum mengambil ikan. Aku tak mensia-siakan kesempatan itu dan segera ikut nongkrong di depannya sambil berusaha membantu padahal tujuanku hanya ingin melihat kontolnya. Benar saja, karena kolornya basah menjadi agak berat sehingga merosot, kali ini aku bisa melihat jembutnya di bagian atas ban karet kolor tersembul keluar.
"Pak Pardi, tuh jembutnya keliatan," dia kembali tersenyum lalu menaikkan celananya sedikit.
"Enak ya Pak Pardi"
"Enak apanya Mas"
"Pak Pardi sudah jembutan, pasti lebet. Aku pengen banget punya jembut"
Dia tertawa dan kemudian berkata, "Lah pasti seumur Mas sudah ada"
"Iya sih, tapi pasti nggak selebat Pak Pardi" dan kulihat dia hanya tersenyum lagi.
Selesai sudah tugas dia hari itu, setelah membawanya ke pondok, masih dengan celana kolornya Pak Pardi membawa ember kecil.
"Mau kemana Pak?" tanyaku.
"Ke pancuran," jawabnya. Di kebon ayahku ini ada pancoran air dari bambu, sumbernya dari aliran air di gunung.
"Aku ikut ya Pak, serem disini sendirian"
"Lah, aku mau mandi kok ikut"
"Nggak apa-apa lah Pak, aku ikut yah"
"Ya sudah ikut saja"
Sambil berjalan aku mencoba memancing ke arah pembicaraan yang lebih saru.
"Pak Pardi masih suka ngocok nggak?"
Dia terlihat kaget dengan pertanyaanku, tapi dia menjawabnya, "Ya kadang-kadang"
"Berapa kali Pak sehari"
"Yah nggak tiap hari. Kalo istri mau malemnya ya hari itu saya tidak ngocok".
"Kamu suka ngocok," tanyanya kemudian.
"Iya Pak, suka sekali. Hari ini Pak Pardi ngocok nggak"
Selesai ku tanya begitu aku lihat ke arah celana kolornya dan semakin gembung saja, bahkan sudah membentuk tenda, sehingga celananya turun dan jembutnya kembali terlihat dan bentuk kepala kontolnya tercetak jelas.
"Sebenernya sih saya nggak rencana ngocok, tapi.."
"Tapi apa Pak?"
"Mas Win sih bikin saya ngaceng nih," ujarnya sambil memperbaiki posisi batang kontolnya.
"Yah kok di benerin sih Pak letaknya, saya suka sekali ngelihatnya"
Pak Pardi menatapku lalu berkata, "Mas win suka ngelihat kontol?"
"Iya Pak. Mm kalo boleh saya mau lihat kontol Pak Pardi, boleh nggak Pak?"
Pak Pardi menghentikan langkahnya dan kemudian membalikkan badannya ke arah saya. Dia diam saja, tapi tangannya menurunkan celana kolornya hingga sebatas lutut, sehingga terlihatlah pemandangan yang sangat saya impikan.
Kontol Pak Pardi gemuk dan besar, benar-benar full ngaceng dan batang kontolnya berurat-urat semakin menampakkan kesan jantan dan gagah. Pelernya tidak terlalu besar dan bulu-bulu jembutnya tumbuh lebat serta menyeruak kemana-mana, benar-benar kontol yang sempurna buatku.
Dengan agak sedikit gemetar aku memegang batang kontol itu, terus terang ini pertama kalinya aku megang kontol orang dewasa. Batang kontol itu terasa hangat dalam genggaman tanganku dan sesekali berkedut-kedut. Kulirik ke arah Pak Pardi dan dia juga menatapku tapi tanpa ekspresi. Aku buat gerakan mengocok seperti aku biasa mengocok kontolku dan Pak Pardi juga sangat menikmatinya, terbukti dia terus memaju mundurkan badannya.
Tiba-tiba aku lepas genggamanku dari kontolnya, dan sebelum dia bertanya aku berkata,
"Pak Pardi, tunjukin ke saya dong cara bapak biasa ngocok saya pengen liat orang gede ngocok kontol"
"Ohh, em gitu ya," ujarnya dengan nafas yang masih dikuasai birahi.
Kemudian Pak Pardi menarik daun pisang yang ada di dekat kami hingga putus, kemudian menaruhnya di tanah. Bersandar di pohon pisang itu Pak Pardi mulai mengocok kontolnya.
Dia mengocok kontolnya dengan gerakan yang cepat dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya terus meraba-raba bulu jembut dia yang ampun banget lebetnya dengan mata yang tertutup dan gumaman keenakan keluar dari mulutnya.
"Enak ya Pak?" tanyaku dan aku berada tepat disamping kontolnya.
"I.. Iya Mas Win, enak sekali. Kenapa nggak ikut ngocok sekalian?"
"Ah saya malu Pak, kontol saya nggak sebesar punya bapak"
"Kenapa malu, kamu kan belum sempurna betul pertumbuhan kontolnya. Lagi pula kontol itu yang penting maennya, bukan ukurannya."
"Gitu ya Pak?" jawabku gelisah karena kontolku memang pengen keluar karena sudah sangat ngaceng melihat tubuh bugil Pak Pardi yang berotot berada di atas daun pisang sedang mengocok kontolnya yang besar.
"Ah.. Shh, ayo Mas Win buka aja, apa mau bapak bukain?"
Akhirnya aku tahan juga dan segera membuka baju dan akhirnya celanaku hingga benar-benar bugil.
"Wah sudah ngaceng ya Mas Win," ujar Pak Pardi sambil tersenyum melihat keadaan kontolku.
"Iya Pak, abis ngeliat Pak Pardi bikin saya jadi ngaceng juga"
"Sini sebelah saya saja"
Aku kemudian duduk di sebelahnya dan mulai mengocok kontolku. Tangan kanan Pak Pardi menggerayangi jembutku.
"Jembut Mas Win persis kayak anak bapak, Atin, cuma kontol Mas Win ini agak panjang yah"
Aku kaget mendengar ucapan Pak Pardi.
"Memangnya Pak Pardi pernah liat kontol Atin?" tanyaku penasaran menghentikan gerakanku di kontol.
Atin adalah kakak kelasku di SMP, tapi dia nggak nerusin SMA mungkin karena biaya. Atin itu anak tertua dan satu-satunya dari Pak Pardi, dia juga sering membantu di rumah.
"Kenapa, Mas Win suka ya dengernya," ujar Pak Pardi yang kini membantuku mengocok.
Kulit tangannya terasa kasar di kontolku tapi genggaman tangannya sangat mantap, baru sekali ini juga batang kontolku di pegang orang, Aku sedikit kelojotan karena sensasinya.
"Bapak suka ngeliat si Atin ngocok di kali belakang rumah kalo sore, kadang-kadang bapak juga suka ngocok bareng"
Ah, darahku semakin mendidih mendengarnya, belum lagi kocokan Pak Pardi bener-bener yahud. Dia menghentikan kocokan di kontolnya dan mengalihkan kedua tangannya di kontolku. Kini aku yang nyender di batang pisang dan Pak Pardi duduk bersila di sampingku dekat di bagian kontol. Sambil tangan kanannya mengocok batang kontolku, tangan kirinya tidak henti-hentinya bergerilya di biji peler dab jembutku yang masih terbilang tipis.
"Kadang bapak ngocokin kontol dia, dan dia ngocokin kontol bapak, aduh enak banget Mas Win. Persis kayak kita gini"
"Ah Pak Pardi, gila bener, aku jadi pengen ngecrot dengernya"
"Mas Win mau nggak kalo kapan-kapan bapak ajak ngocok bareng sama Atin?" tanya Pak Pardi sambil terus merancapiku.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya, hanya bisa melenguh enak dan kedua tanganku terangkat ke atas dan memeluk batang pisang yang kusandari.
"Ahh.. Mau banget Pak, mau banget, aduh Pak.. enak, pengen keluar udah bener-bener nggak kuat"
Tapi sebelnya Pak Pardi menghentikan kocokan mautnya di kontolku. Aku membuka mata dan bertanya dengan tatapan mataku,
"Mas Win bangun dulu" ujarnya. Aku bangun dan bersender di batang pisang yang sama dengan kontol yang masih tegak mengacung.
"Kenapa Pak?"
"Kalo mau ngecrot, kita ngecrotin samaan ya"
"Kita ngocok berdiri Pak?"
"Nggak, liat aja. Bapak biasanya kalo ngecrot bareng Atin sering yang kayak gini, Mas Win diem aja yah"
Kemudian Pak Pardi mendekatiku, sebagai yang sangat tak berpengalaman jelas sekali aku deg-deganm apalagi melihat Pak Pardi sekarang hanya beberapa senti saja di depanku dan kontol kami sudah saling menyenggol.
Pak Pardi kemudian memelukku, karena tubuh kami hampir setara, posisi kontol kami tak terlalu berbeda sehingga saat Pak Pardi memelukku kontol kami saling bersentuhan.
Darahku seperti mengalir dengan cepat dan sensasi kontol kami yang saling berdempetan membuat tubuhku bergetar.
Pak Pardi kemudian menggeol-geolkan tubuhnya dengan gerakan memutar dan sedikit naik turun. Rasanya LUAR BIASA, kontol kami bergesekan, jembut kami bersatu dan sesekali ada sedikit rasa sakit saat jembutku tertarik entah oleh gerakan gesek batang kontolnya atau tertarik oleh jembutnya.
Kedua tangan Pak Pardi memeluk batang pisang dan kepalanya di rebahku di bahuku sementara kontolnya terus di gesek-gesekkan di kontolku.
Aku benar-benar sudah nggak tahan lagi. Akupun mengerang keras dan..
Crott.. Crott.. Crott spermaku menyembur berkali-kali diantara gesekan kontol kami, entah kemana saja semprotannya aku tak perduli karena rasa yang begitu enak membuatku tak berfikir apa-apa lagi. Kemudian Pak Pardi melepas pelukannya di tubuhku lalu mengocok kontolnya dengan sangat cepat dan kembali
Crott.. Crott.. Crott.. Crott.. Crott.. Crott, semprotan yang jauh lebih banyak dari kepala kontolnya di arahkan Pak Pardi di kontol dan jembutku. Cairan kental itu mengalir ke bawah dan Pak Pardi kembali memelukku serta kembali menggesekkan kontolnya sembari ia mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Kami akhirnya sudah mendapatkan kesadaran, dan dengan tubuh bugil berjalan ke arah pancuran untuk membersihkan tubuh dan sisa-sisa sperma.
"Pak, kapan kita bisa ngocok bareng Atin?" tanyaku.
"Yah kalo Mas Win mau, besok juga bisa disini" jawab Pak Pardi sambil tersenyum.
"Nanti bapak kasih liat, bagaimana cara bapak maen sama Atin."
"Maen..? Maen apa Pak?"
"Pokoknya liat aja besok, di jamin Mas Win suka, malah pengen ngerasain"
"Ah Pak Pardi ini bikin penasaran aja" ujarku manja.
"Tapi apa Atin mau ya kalo ada aku Pak?"
"Dia sih pasti mau, malah seneng. Kadang Pak Danial juga suka ikutan"
"Pak Danial hansip?" tanyaku kaget.
"Iya"
Mulutku melongo, Pak Danial adalah hansip yang suka jaga malam di rumahku.
"Ya sudah Pak, saya sudah nggak sabar nunggu besok"
Pak Pardi tertawa dan menarik jembutku sehingga aku kaget, lalu Pak Pardi berjalan cepat mendahuluiku yang berusaha mengejarnya untuk balas dendam menarik jembutnya juga. Senangnya...
Selasa, 04 Februari 2014
Langganan:
Postingan (Atom)